HARAMNYA MUSIK KARENA "WAW"
Ibnu Mas’ud berkata, الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك “Yang disebut jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran, walau pun ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/ 322/ 13).
Jumat, 16 Oktober 2020
HARAMNYA MUSIK KARENA FAKTOR "WAW" YAKNI SISIPAN UNSUR MAKSIAT SEPERTI KHAMR, JUDI DAN ZINA
“DA’I – DA’I SALAFI MENGHARAMKAN MEMBERONTAK KEPADA PENGUASA YANG TIDAK MENERAPKAN SYARIAT ISLAM DENGAN DALIH MEREKA MASIH SHOLAT”
.
Pada 5 Agustus 2018, diantara komentar pro-kontra di facebook atas video “Haram hukumnya mencari-cari kesalahan & kejelekan pemimpin” oleh ustadz Badru Salam, Feby Jatmiko menulis:
.
Maka ini jawabannya :
Pada suatu hari di saat Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah sedang mengobarkan semangat jihad penduduk Syam dalam menghadapi pasukan Mongol dari Yaman di bawah pimpinan Qadzan yang notabene-nya mereka semua telah memeluk Islam.
Maka datanglah beberapa Ulama dari Yaman yang sengaja dikirim oleh Qadzan untuk menghujjah ibnu Taimiyyah. Berkatalah ulama2 ini:
“Wahai Syaikh yg alim, kenapa engkau mengobarkan semangat rakyat untuk memerangi saudara mereka? Bukankah Mongol sudah memeluk islam? Dan kenapa pula engkau menyuruh umat islam memberontak pada pemimpin mereka, bukankah itu ciri ciri khawarij yg memberontak pada Ali? Sebenarnya anda ini ulama terdepan dari mazhab Hanbali. Tapi kenapa pula engkau menyelisi Imam Ahmad, bukankah Imam Ahmad telah melarang rakyat Irak (dahulu) memberontak pada Al Makmun waktu itu?”
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah menjawab: “Katakan padaku, adakah Al Makmun menetapkan suatu hukum di luar konteks Kitabullah dan Sunnah?”
Ulama – ulama Yaman menjawab: “Demi Allah, Tidak”
Syaikhul Islam bertanya lagi: “Adakah Al Makmun membuat suatu kitab tentang hukum hukum dasar negara dan kehidupan kaum muslimin selain dari apa yg telah ia dapatkan dari kitabullah dan Sunnah..?”
Ulama Yaman menjawab; “Demi Allah, tidak”
Kemudian Beliau bertanya kembali: “Bila kalian mengakui bahwa Al Makmun tidak pernah membuat suatu hukum yg menyelisihi Al Quran dan Assunnah? Terus kenapa kalian menyamakan Al Makmun yg senantiasa menjaga dan memelihara syariat Allah dan Sunnah Rasulullah dengan seorang Qadzan, raja Mongol yg jelas sudah keterangan dan bukti2 pada kalian bahwa ia telah memperlakukan suatu hukum di luar hukum agama ini yg telah tersusun dlm satu kitab bernama ‘Ilyasiq’..?”
Beliau kemudian melanjutkan: “Ketahuilah bahwa Imam Ahmad (dahulu) melarang rakyat Irak memberontak pada Al Makmun karena Al Makmun adalah Khalifah yg sah di tunjuk sepeninggal ayahnya Harun, dan ia tidak pernah membuat suatu kerusakan melainkan ia hanya tersesat dan terpelintir dalam akidah Muktazilah yg dengannya menganggap Al Quran itu sebagai Makhluk, sedang ia sendiri sangat menjunjung tinggi apa yg ada dalam kitabullah dan sunnah tanpa ia merobah satupun yg ada di dalamnya melainkan ia selalu menerapkannya dalam kehidupan rakyatnya. Sedangkan sekarang, kerusakan telah meraja lela di muka bumi akibat ulah dari bangsa Mongol yg bengis dan jahil serta mereka berani menetapkan suatu kebijakan (undang – undang hukum buatan) yg mereka paksakan pada kita. Padahal kebijakan yg telah mereka buat sangat jelas menyelisihi apa yg ada dalam kitabullah dan sunnah.
Apa yg menghalangi mereka untuk menerapkan hukum Allah sedang mereka adalah muslim..? Demi Allah tidak lain melainkan mereka sudah di kuasai oleh Iblis si pendurhaka pada Adam untuk menjauhkan dan menyesatkan kita dari agama Allah yg lurus. Karena itulah kita harus melawan kemungkaran ini supaya kemurkaan Allah tidak menimpa kita karena sikap diam kita..”
Setelah mendengar penjelasan Ibnu Taimiyyah, maka Ulama ulama Yaman pun membenarkannya dan mereka pun menetap di Syam tanpa kembali lagi ke Yaman. Bersama sama mereka mengobarkan semangat perang penduduk Syam melawan tentara Mongol hingga akhir nya Allah pun memberi pertolongan pada penduduk Syam dengan kemenangan.
Wallahu’alam bis shawwab..
“Bidayah wa nihayah”
Kamis, 15 Oktober 2020
KHALIFAH UMAR DIPROTES WANITA DI DEPAN UMUM
Seperti diketahui, Umar bin Al Khathab, adalah salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkapasitas sebagai mujtahid. Suatu ketika beliau berpidato di atas mimbar. Setelah memuji Allah, ia berkata. “Ketahuilah, janganlah kalian mempermahal mahar wanita, sebab seandainya hal itu merupakan suatu kehormatan di dunia atau ketaqwaan di sisi Allah, niscaya orang yang paling pertama melakukannya adalah Rasululullah, namun beliau tidak pernah memberikan mahar kepada seorang istrinya dan tidak juga seorang putrinya diberi mahar lebih dari dua belas uqiyyah.”
.
Tak selang berapa lama Umar turun
dari mimbarnya. Arahan kalifah yang singkat, padat dan lugas itu mendapat sambutan. Tiba-tiba datang seorang perempuan dari suku Quraisy. Tanpa basa basi wanita
itu berkata, “Wahai pemimpin orang Mukmin. Apakah Kitab Allah yang
lebih berhak kami ikuti ataukah ucapanmu?” Spontan Umar pun menjawab, “Tentu
al Quran-lah yang lebih berhak dikuti.”
“Apa yang kamu maksudkan?” lanjut Umar.
Wanita itu berkata, “Engkau
baru saja melarang untuk memberi mahar yang lebih banyak dari mas kawin
Rasulullah. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
“Dan kalian telah memberikan pada
salah satu wanita harta yang banyak sebagai mas kawin……….”
Khalifah Umar langsung menerima nasehat wanita
Quraisy tersebut. Atas saran atau bahkan bisa dikatakan sanggahan dari seorang
perempuan itu khalifah segera menerimanya. Khalifah
Umar bin Khattab tidak merasa canggung, tidak malu, tidak gengsi,
bahkan Umar berkata:
كل أحد أفقه من عمر
“Setiap orang lebih paham agama
daripada Umar,” kata
Umar.
Ucapan itu dilontarkan Umar dan
diulang-ulang dua tiga kali. Ia kembali naik ke atas mimbar lalu
berkata, “Hadirin sekalian, aku telah melarang kalian memberi mahar
lebih dari mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketahuilah bahwa aku
cabut pernyatanku. Dan sekarang lakukanlah apa yang maslahat bagi kalian. Aku
tidak membatasi. Selama tidak bertentangan dengan syariat.”
.
Sikap yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ini adalah sikap bijak seorang pemimpin yang berpegang teguh terhadap kebenaran. Khalifah Umar tanpa sungkan dan malu menerima pendapat sekaligus kritikan, masukan atau bahkan nasihat dari orang lain di muka umum.
.
Kisah di atas shohih, diriwayatkan Abu Dawud 2106,
Nasai 2/87, Timidzi 1/208, Ibnu Hibban 1259, ad-Darimi 2/141, al-Hakim 2/175,
al-Baihaqi 7/234, Ahmad 1/40-48, al-Humaidi 23 dari jalur Muhammad bin Sirin
dari Abu ‘Ajfa’ dari Umar. Hadits ini dishohihkan oleh Tirmidzi, al-Hakim dan
disetujui adz-Dzahabi.
.
Jadi, larangan Umar dari mempermahal mahar sesuai
dengan sunnah Nabi. Adapun kisah ini, kalaulah memang shohih maka hal itu tidak
bertentangan dengan ayat karena ditinjau dari dua hal:
Kedua, ayat tersebut (Qs. An-Nisa’: 20)
berkaitan tentang seorang wanita yang ingin agar suaminya menceraikannya,
sedangkan dia telah memberikan kepada sang istri mahar yang banyak. Maka tidak
boleh baginya untuk mengambil kembali tanpa kerelaan istri.
Inti dari kisah di atas adalah bagaimana sikap berjiwa besar pemimpin sekaliber Umar bin Khattab. Andai saja para pemimpin negeri ini mau belajar dari seorang Umar bin Khattab tentang bagaimana cara memimpin. Belajar bagaimana berjiwa besar saat menerima nasihat. Tegas saat melihat yang dipimpin melakukan dosa dan kemaksiatan, tentu akan lahir kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan ini. Namun, jika para pemimpin sudah tidak lagi bisa menerima kritikan, masukan bahkan nasehat, maka tunggulah perpecahan akan terjadi di mana-mana, wallahua’lam. (A/RS3/P1)
Mi’raj News
Agency (MINA)
TAAT KEPADA PEMIMPIN, hadits dhaif (?)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59} [النساء]
Al Imam An Nawawi mengatakan:
As Sindi mengatakan:
وفي قوله يقودكم بكتاب الله اشاره الى أنه لا طاعة له فيما يخالف حكم الله
TAAT KEPADA PEMIMPIN, PENYESALAN DI NERAKA
RASULULLAH DAN PARA SAHABAT BERDEMO?