Seperti diketahui, Umar bin Al Khathab, adalah salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkapasitas sebagai mujtahid. Suatu ketika beliau berpidato di atas mimbar. Setelah memuji Allah, ia berkata. “Ketahuilah, janganlah kalian mempermahal mahar wanita, sebab seandainya hal itu merupakan suatu kehormatan di dunia atau ketaqwaan di sisi Allah, niscaya orang yang paling pertama melakukannya adalah Rasululullah, namun beliau tidak pernah memberikan mahar kepada seorang istrinya dan tidak juga seorang putrinya diberi mahar lebih dari dua belas uqiyyah.”
.
Tak selang berapa lama Umar turun
dari mimbarnya. Arahan kalifah yang singkat, padat dan lugas itu mendapat sambutan. Tiba-tiba datang seorang perempuan dari suku Quraisy. Tanpa basa basi wanita
itu berkata, “Wahai pemimpin orang Mukmin. Apakah Kitab Allah yang
lebih berhak kami ikuti ataukah ucapanmu?” Spontan Umar pun menjawab, “Tentu
al Quran-lah yang lebih berhak dikuti.”
“Apa yang kamu maksudkan?” lanjut Umar.
Wanita itu berkata, “Engkau
baru saja melarang untuk memberi mahar yang lebih banyak dari mas kawin
Rasulullah. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
“Dan kalian telah memberikan pada
salah satu wanita harta yang banyak sebagai mas kawin……….”
Khalifah Umar langsung menerima nasehat wanita
Quraisy tersebut. Atas saran atau bahkan bisa dikatakan sanggahan dari seorang
perempuan itu khalifah segera menerimanya. Khalifah
Umar bin Khattab tidak merasa canggung, tidak malu, tidak gengsi,
bahkan Umar berkata:
كل أحد أفقه من عمر
“Setiap orang lebih paham agama
daripada Umar,” kata
Umar.
Ucapan itu dilontarkan Umar dan
diulang-ulang dua tiga kali. Ia kembali naik ke atas mimbar lalu
berkata, “Hadirin sekalian, aku telah melarang kalian memberi mahar
lebih dari mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketahuilah bahwa aku
cabut pernyatanku. Dan sekarang lakukanlah apa yang maslahat bagi kalian. Aku
tidak membatasi. Selama tidak bertentangan dengan syariat.”
.
Sikap yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ini adalah sikap bijak seorang pemimpin yang berpegang teguh terhadap kebenaran. Khalifah Umar tanpa sungkan dan malu menerima pendapat sekaligus kritikan, masukan atau bahkan nasihat dari orang lain di muka umum.
.
Kisah di atas shohih, diriwayatkan Abu Dawud 2106,
Nasai 2/87, Timidzi 1/208, Ibnu Hibban 1259, ad-Darimi 2/141, al-Hakim 2/175,
al-Baihaqi 7/234, Ahmad 1/40-48, al-Humaidi 23 dari jalur Muhammad bin Sirin
dari Abu ‘Ajfa’ dari Umar. Hadits ini dishohihkan oleh Tirmidzi, al-Hakim dan
disetujui adz-Dzahabi.
.
Jadi, larangan Umar dari mempermahal mahar sesuai
dengan sunnah Nabi. Adapun kisah ini, kalaulah memang shohih maka hal itu tidak
bertentangan dengan ayat karena ditinjau dari dua hal:
Kedua, ayat tersebut (Qs. An-Nisa’: 20)
berkaitan tentang seorang wanita yang ingin agar suaminya menceraikannya,
sedangkan dia telah memberikan kepada sang istri mahar yang banyak. Maka tidak
boleh baginya untuk mengambil kembali tanpa kerelaan istri.
Inti dari kisah di atas adalah bagaimana sikap berjiwa besar pemimpin sekaliber Umar bin Khattab. Andai saja para pemimpin negeri ini mau belajar dari seorang Umar bin Khattab tentang bagaimana cara memimpin. Belajar bagaimana berjiwa besar saat menerima nasihat. Tegas saat melihat yang dipimpin melakukan dosa dan kemaksiatan, tentu akan lahir kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan ini. Namun, jika para pemimpin sudah tidak lagi bisa menerima kritikan, masukan bahkan nasehat, maka tunggulah perpecahan akan terjadi di mana-mana, wallahua’lam. (A/RS3/P1)
Mi’raj News
Agency (MINA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar